KOMPONEN BIOTIK & ABIOTIK PADA EKOSISTEM LAMUN DI PULAU BATU DISTRIK KEPULAUAN AMBAI

  • Rosalina Ayorbaba Program Studi Pendidikan Biologi Sekolah Tinggi Keguruan Dan Ilmu Pendidikan PGRI Papua
  • Rini A Beroperai Program Studi Pendidikan Biologi, Sekolah Tinggi Keguruan Dan Ilmu Pendidikan PGRI Papua
  • Helena M Bonai Program Studi Pendidikan Biologi, Sekolah Tinggi Keguruan Dan Ilmu Pendidikan PGRI Papua
  • Roy Marthen Rahanra Program Studi Pendidikan Biologi Sekolah Tinggi Keguruan Dan Ilmu Pendidikan PGRI Papua
Keywords: komponen biotik., abiotic,, ekosistem,, Kepulauan Ambai

Abstract

Ekosistem lamun di Pulau Batu, Distrik Kepulauan Ambai memiliki komponen biotik dan abiotik yang saling berinteraksi dan memengaruhi keberlangsungan hidup satu sama lain. Komponen biotik meliputi organisme yang hidup di ekosistem lamun, seperti lamun itu sendiri, tumbuhan mangrove, ikan, moluska, udang, kepiting, dan burung yang menggunakan ekosistem lamun sebagai tempat mencari makan. Sementara itu, komponen abiotik meliputi faktor non-hidup di ekosistem lamun, seperti suhu, pH air, salinitas, cahaya, arus laut, dan substrat. Faktor-faktor ini berperan dalam menentukan keberlangsungan hidup organisme di dalamnya. Interaksi antara komponen biotik dan abiotik sangat penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem lamun. Contohnya, lamun membutuhkan cahaya matahari untuk melakukan fotosintesis, sehingga ketersediaan cahaya yang cukup sangat penting untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya. Selain itu, ikan dan moluska juga membutuhkan lingkungan yang seimbang untuk berkembang biak dan mencari makan. Dalam ekosistem lamun di Pulau Batu, Distrik Kepulauan Ambai, komponen biotik dan abiotik saling bergantung satu sama lain untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Oleh karena itu, perlindungan dan pengelolaan yang baik terhadap ekosistem lamun sangat penting untuk menjaga keberlangsungan hidup organisme yang hidup di dalamnya dan mencegah kerusakan lingkungan yang dapat mengancam keberlangsungan hidup manusia di sekitarnya.

References

Arifin, Z., Irawan, B., & Manik, H. M. (2017). Keragaman jenis dan kepadatan lamun (Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Thalassia hemprichii) di perairan sekitar Pulau Natuna Besar. Journal of Marine and Aquatic Sciences, 2(2), 156-165.
Hartati, S., & Fadli, N. (2019). Distribusi jenis dan kepadatan lamun di perairan Kecamatan Kepulauan Talaud, Kabupaten Kepulauan Talaud. Buletin Oseanografi Marina, 8(1), 1-7.
Hill, J., Wilkinson, C., & Edgar, G. (2004). A framework for ecological risk assessment in the marine environment. Australasian Journal of Ecotoxicology, 10(1), 33-40.
Kennedy, H., Beggins, J., Duarte, C. M., Fourqurean, J. W., Holmer, M., MarbĂ , N., ... & Middelburg, J. J. (2010). Seagrass sediments as a global carbon sink: isotopic constraints. Global Biogeochemical Cycles, 24(4), GB4026.
Short, F. T., & Coles, R. G. (2001). Global seagrass research methods. Elsevier.
Short, F. T., & Wyllie-Echeverria, S. (1996). Natural and human-induced disturbance of seagrasses. Environmental Conservation, 23(1), 17-27.
Unsworth, R. K., & Cullen-Unsworth, L. C. (2013). Seagrass meadows, ecosystem services, and sustainability. In Ecosystem services in agricultural and urban landscapes (pp. 83-110). Wiley-Blackwell.
Wardiatno, Y., & Widodo, P. (2018). Faktor lingkungan abiotik dan kepadatan lamun pada perairan Kepulauan Seribu, Jakarta. Jurnal Ilmu Kelautan, 23(2), 75-84.
Published
2021-12-31
How to Cite
Ayorbaba, R., Beroperai, R., Bonai, H., & Rahanra, R. (2021). KOMPONEN BIOTIK & ABIOTIK PADA EKOSISTEM LAMUN DI PULAU BATU DISTRIK KEPULAUAN AMBAI. UNES Journal of Scientech Research, 6(2), 130-138. Retrieved from https://ojs.ekasakti.org/index.php/UJSR/article/view/357